shiela

BiNusian weblog

Penerapan Knowledge Management di Dunia Bisnis dan Industri

Keberhasilan sebuah perusahaan salah satunya diukur oleh usia perusahaan tersebut. Usia ini antara lain menggambarkan daya tahan suatu perusahaan dalam kompetisi. Dalam era moderen ini kompetisi antar perusahaan semakin ketat. Gambaran ketatnya persaingan yang diindikasikan oleh usia perusahaan dapat diinterpretasikan dari keterangan Ellen dan De Geus. Ellen de Rooj dari Stratix Group di Amsterdam, seperti dikutip Jan Hidayat dan Donald Crestofel dalam bukunya Knwled Management (2006: 19) dari De Geus dalam bukunya TheLiving Company (1997), menyatakan bahwa rata-rata ekspektasi hidup perusahaan-perusahaan di Eropa hanya 12,5 tahun. Bahkan menurutnya di beberapa negara, 40% dari semua perusahaan yang baru didirikan hanya berumur kurang dari 10 tahun. Sementara Sangkala (2006: 2) mengutip majalah Fortune 500 menyebutkan bahwa “25% perusahaan bangkrut setiap 10 tahun”. Padahal, walaupun jumlahnya yang amat sedikit, beberapa perusahaan berumur panjang. Termasuk yang terakhir ini adalah Stora (Swedia, 800 tahun), Sumitomo (Jepang, 400 tahun), Du Pont (AS, 195 tahun). Pilkington (Inggris 171 tahun).
Berdasarkan fenomena di atas timbul pertanyaan “nilai apa dibalik kompetisi antar perusahaan yang menyebabkan kebanyakan perusahaan berumur pendek, dan mengapa pula ada yang berumur panjang ?”. Kompetisi perusahaan, pemenangannya ditentukan oleh banyak faktor. Paul L Tobing (2007: 5) menyebutkan bahwa faktor-faktor itu ialah, kolaborasi, inovasi, adaptasi, penguasaan teknologi dan pasar serta pengelolaan aset-aset intelektual perusahaan. Hal yang terakhir ini, yaitu pengelolaan aset-aset intelektual, atau yang dikenal juga dengan knowledge, dipastikan memiliki peran yang amat penting. Apalagi jika mau ditelusur lebih lanjut empat faktor selebihnya juga tidak dapat dijauhkan dari knowledge. Jadi sesungguhnya kunci bagaimana sebuah perusahaan dapat berumur panjang adalah kuatnya knowledge dan kecanggihan pengelolaannya (knowledge management). De Geus (Jan Hidayat dan Donald Crestofel, 2006: 20) menyebutkan bahwa perusahaan yang berumur panjang memiliki karakter sebagai perusahaan yang hidup (the living company). Ia mengibaratkan perusaan jenis ini sebagai perusahaan yang memiliki atribut-atribut sebagai makluk hidup (organik). Perusahan seperti itu bertingkah laku sebagai layaknya mahluk hidup atau entitas yang hidup. Dengan metafor seperti itu ia ingin mengatakan bahwa perusahaan akan berumur panjang jika perusahaan itu memiliki kemampuan untuk menjadi perusahaan yang belajar (organisasi pembelajaran). Roos mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian dan kajian literatur, perusahaan seperti itu telah menjadikan pengetahuan (knowledge) sebagai modal. Bahkan menurut Sullivan, dalam hal itu knowledge bukan hanya dijadikan sebagai modal, lebih dari itu, pengetahuannya itu (modal intelektualnya) telah ditempatkan sebagai modal utamanya. Karena itu, ia menyebut perusahaan demikian sebagai knowlwdge company (Sangkala, 2006: 3).
Terdapat beberapa alasan kuat, mengapa knowledge menjadi kunci keberhasilan dalam persaingan dan menyebabkan usia panjang perusahaan. Diantaranya ialah: Pertama, kegiatan penting perusahaan ternyata sangat terkait dengan knowledge management. Membuat keputusan, menciptakan dan menghasilkan produk, serta memberikan layanan kepada pelanggan, semuanya memerlukan knowledge. Melalui seranngkaian hasil penelitian terungkap bahwa kemampuan perusahaan bertahan lama dan berkembang bukan ukuran dan keberuntungannya, melainkan karena kemampuannya beradaptasi yang lebih cepat terhadap perubahan kondisi tuntutan lingkungannya, terus menerus melakukan inovasi, dan mengambil keputusan yang tepat untuk bergerak menuju yang diharapkannya. Semua itu terjadi karena kemampuan knowledge management dari perusahaan itu (Sangkala, 2007: 3) . Kedua, adanya perubahan orientasi dalam memandang sumberdaya perusahaan sebagai faktor produksi (Sangkala, 2007: 310). Dalam hal ini terutama perubahan yang akhirnya memandang manusia bukan lagi dari sisi fisik, malainkan sebagai kualitas fikiran, atau kualitas knowledge.
Seperti telah diketahui, Alfin Tofler (1980) telah membagi era ekonomi menjadi tiga gelombang, yaitu ekonomi pertanian (8000 Th SM – abad 18) yang disebut juga era manual, ekonomi industri (pertengahan abad 18 – abad 20) yang juga dikenal dengan era mesin industri, dan information economy atau ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy). Dalam perspektif tersebut, paradigma manausia sebagai sumberdaya (kapital) perusahaan berubah secara berturut-turut sebagai berikut: manusia sebagai otot (energi fisik), manusia sebagai keterampilan menggunakan mesin, dan manusia sebagai kualitas pikiran (knowledge content) (Jan Hidayat dan Donald Crestofel, 2006: 1-2). Daya tahan dan kemajuan diperoleh perusahaan justru ketika perusahaan melaksanakan aktivitasnya dengan meletakkan manusia sebagai knowledge content. Dari penelitian terakhir oleh John Kendrik (1998), memang diperoleh data pergeseran terhadap tingkat pentingnya knowledge sebagai modal tak tampak (intangible assets), yaitu 70% dibandingkan 30% persen untuk tangible assets. Kondisi ini berbalik dengan apa yang terjadi pada tahun 1929, dimana tangible assets justru pada posisi 70%

Kebutuhan PTAI Terhadap Knowledge Management

Seperti diungkapkan di atas, knowledge merupakan kunci untuk memenangkan persaingan. Tetapi, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah lebih dari itu, yaitu pengelolaan knowledge atau knowledge management. Knowledge management “adalah sistem pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima” (Nungky, 15). Dalam dunia pendidikan yang ternyata penuh persaingan, maka PTAI jelas memerlukan kemampuan KM.
Namun demikian, PTAI memerlukan KM bukan hanya dalam rangka persaingan dalam pengertian negatif, menentukan hidup mati lembaga, KM juga diperlukan oleh PTAI antara lain untuk hal-hal berikut: menjalankan transformasi, mempercepat pemekaran, dan membangun keunggulan.
PTAI Swasta mungkin benar-benar berhadapan dengan persaingan. Apalagi beberapa diantaranya berlokasi cukup berdekatan, dan dengan program studi yang relatif sama. PTAI Negeri dapat dikatakan tidak merasa khawatir dengan kompetisi itu, karena kelangsungan hidupnya sepertinya pasti dijamin oleh pemerintah. Namun demikian, selain dalam rangka kompetisi yang menyangkut kelangsungan hidup, lembaga pendidikan yang dinamis selalu memiliki keinginan untuk melakukan transformasi. Biasanya sebuah “Sekolah Tinggi” ingin berkembang menjadi “Institut” atau bahkan kemudian menjadi “Universitas”. Lembaga pendidikan yang progresif juga selalu menghendaki pemekaran, memperluas dan memperbanyak jurusan, program studi dan bahkan kampus. Kebutuhan akan adanya unggulan juga dimiliki oleh kebanyakan pendidikan yang serius. Keunggulan selain untuk memperkuat daya saing juga acapkali sebagai penguatatan identitas.
Semua itu membutuhkan dukungan management knowledge yang tangguh. Adakalanya keinginan untuk tetap eksis atau sedikit perkembangan dapat dipenuhi dengan hanya memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari kelemahan-kelemahan regulasi dan monev yang ada, atau berlindung pada sikap sosial non profesional dan ketidaktegasan (ke”baikhati”an atau “belaskasih”an) pemerintah semata. Namun langkah seperti itu selain tidak produktif, juga akan mudah tergoda dengan langkah-langkah tidak terpuji dan tidak standar. Langkah permanen yang perlu dilakukan ialah dengan mengadopsi atau mengadaptasi pengalaman dunia industri dan bisnis, yaitu dengan memperkuat knowledge management.
Belajar dari pengalaman dunia bisnis atau industri, beberapa langkah yang dapat dilakukan PTAI untuk memperkuat management knowledge adalah:
1. Membangun dan Mengembangkan Tradisi Belajar
Sekalipun PTAI merupakan lembaga pendidikan, tidak dengan sendirinya telah tumbuh didalamnya tradisi belajar, khususnya dalam pengelolaan lembaga. Realitasnya, tradisi belajar yang intensif justru telah ditumbuhkan dan dikembanhgkan lebih awal pada organisasi bisnis ataupun industri.
Langkah ini merupakan langkah adaptif menghadapi persaingan yang ketat dalam suasana perubahan yang cepat. Dengan itu diharapkan akan terjadi proses permanen dalam pertukaran (sharing) , kolaborasi serta pengembangan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan nilai-nilai dalam lembaga, yang menjadikan lembaga semakin dinamis, produktif, dan efektif. Wujud konkrit dari adanya tradisi belajar yang dikehendaki adalah eksisnya semangat kebersamaan dalam berbagi pengetahuan dalam arti yang seluas-luasnya. Probst, Raub, dan Romhardt dalam bukunya Managing Knowledge: Building Blocks for Success (2000) menyatakan bahwa unuk menciptakan kebersamaan dalam berbagi pengetahuan diperlukan tiga kondisi, yaitu: (1). Interaksi. Pengetahuan kolektif berada dalam hubungan antar individu, bukan di masing-masing individu, (2). Transparansi. Setiap keahlian terungkap dan tampak secara leluasa, (3). Integrasi. Setiap individu menjadi bagian dari upaya pemecahan masalah secara bersama. (Miranda S. Gultom, 2008: 18).
Untuk menciptakan kondisi seperti yang disyaratkan Probs dkk. tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Kenyataannya, dari pengalaman beberapa perusahaan, memerlukan langkah-langkah pasti yang berkesinambungan. Sulitnya usaha tersebut dapat dimengerti, karena unsur utama dari tradisi belajar dan tujuan yang diharapkan darinya adalah “perubahan”. Sesuatu yang lumrahnya mendapat resistensi dan membutuhkan proses. Membentuk tradisi belajar adalah “perubahan” dari pengabaian menjadi penekanan dan care pada pengetahuan. Berikutnya, tujuan dari adanya tradisi belajar itu ialah “perubahan” dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi. Yaitu “perubahan” dari penanganan yang “asal jadi” menjadi pemecahan masalah secara terukur dan terstandar berdasarkan pengetahuan yang berkualitas. Sikap mental seperti ini tidak dapat diciptakan dengan segera apalagi serta merta.
Bank Indonesia memerlukan waktu beberapa tahun untuk mewujudkan tradisi belajar didalam lembaganya. Gerakan yang dimulai tahun 2002 baru dirasakan hasilnya setidaknya sesudah tahun 2006. Itupun memerlukan banyak biaya dan menggunakan berbagai kiat. Salah satu yang dilakukan, seperti diungkap dalam buku Mencairkan Gunung Es, ialah dengan membentuk “Mitra Perubahan” yang tidak lain orang-orang terpilih, dengan kriteria tertentu, untuk menghidupkan kebersamaan dalam pengetahuan, pengalaman, skill, dan nilai. Bahkan dengan menciptakan tokoh asosiasi yang diberi nama Spektro, sebagai cermin ideal manusia pembelajar.

This entry was posted on Sunday, June 14th, 2009 at 9:34 pm and is filed under minicase about Knowledge Management. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Leave a Reply





XHTML: You can use these tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>