Archive for June, 2009
June 14th, 2009 Posted 9:34 pm
Penerapan Knowledge Management di Dunia Bisnis dan Industri
Keberhasilan sebuah perusahaan salah satunya diukur oleh usia perusahaan tersebut. Usia ini antara lain menggambarkan daya tahan suatu perusahaan dalam kompetisi. Dalam era moderen ini kompetisi antar perusahaan semakin ketat. Gambaran ketatnya persaingan yang diindikasikan oleh usia perusahaan dapat diinterpretasikan dari keterangan Ellen dan De Geus. Ellen de Rooj dari Stratix Group di Amsterdam, seperti dikutip Jan Hidayat dan Donald Crestofel dalam bukunya Knwled Management (2006: 19) dari De Geus dalam bukunya TheLiving Company (1997), menyatakan bahwa rata-rata ekspektasi hidup perusahaan-perusahaan di Eropa hanya 12,5 tahun. Bahkan menurutnya di beberapa negara, 40% dari semua perusahaan yang baru didirikan hanya berumur kurang dari 10 tahun. Sementara Sangkala (2006: 2) mengutip majalah Fortune 500 menyebutkan bahwa “25% perusahaan bangkrut setiap 10 tahun”. Padahal, walaupun jumlahnya yang amat sedikit, beberapa perusahaan berumur panjang. Termasuk yang terakhir ini adalah Stora (Swedia, 800 tahun), Sumitomo (Jepang, 400 tahun), Du Pont (AS, 195 tahun). Pilkington (Inggris 171 tahun).
Berdasarkan fenomena di atas timbul pertanyaan “nilai apa dibalik kompetisi antar perusahaan yang menyebabkan kebanyakan perusahaan berumur pendek, dan mengapa pula ada yang berumur panjang ?”. Kompetisi perusahaan, pemenangannya ditentukan oleh banyak faktor. Paul L Tobing (2007: 5) menyebutkan bahwa faktor-faktor itu ialah, kolaborasi, inovasi, adaptasi, penguasaan teknologi dan pasar serta pengelolaan aset-aset intelektual perusahaan. Hal yang terakhir ini, yaitu pengelolaan aset-aset intelektual, atau yang dikenal juga dengan knowledge, dipastikan memiliki peran yang amat penting. Apalagi jika mau ditelusur lebih lanjut empat faktor selebihnya juga tidak dapat dijauhkan dari knowledge. Jadi sesungguhnya kunci bagaimana sebuah perusahaan dapat berumur panjang adalah kuatnya knowledge dan kecanggihan pengelolaannya (knowledge management). De Geus (Jan Hidayat dan Donald Crestofel, 2006: 20) menyebutkan bahwa perusahaan yang berumur panjang memiliki karakter sebagai perusahaan yang hidup (the living company). Ia mengibaratkan perusaan jenis ini sebagai perusahaan yang memiliki atribut-atribut sebagai makluk hidup (organik). Perusahan seperti itu bertingkah laku sebagai layaknya mahluk hidup atau entitas yang hidup. Dengan metafor seperti itu ia ingin mengatakan bahwa perusahaan akan berumur panjang jika perusahaan itu memiliki kemampuan untuk menjadi perusahaan yang belajar (organisasi pembelajaran). Roos mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian dan kajian literatur, perusahaan seperti itu telah menjadikan pengetahuan (knowledge) sebagai modal. Bahkan menurut Sullivan, dalam hal itu knowledge bukan hanya dijadikan sebagai modal, lebih dari itu, pengetahuannya itu (modal intelektualnya) telah ditempatkan sebagai modal utamanya. Karena itu, ia menyebut perusahaan demikian sebagai knowlwdge company (Sangkala, 2006: 3).
Terdapat beberapa alasan kuat, mengapa knowledge menjadi kunci keberhasilan dalam persaingan dan menyebabkan usia panjang perusahaan. Diantaranya ialah: Pertama, kegiatan penting perusahaan ternyata sangat terkait dengan knowledge management. Membuat keputusan, menciptakan dan menghasilkan produk, serta memberikan layanan kepada pelanggan, semuanya memerlukan knowledge. Melalui seranngkaian hasil penelitian terungkap bahwa kemampuan perusahaan bertahan lama dan berkembang bukan ukuran dan keberuntungannya, melainkan karena kemampuannya beradaptasi yang lebih cepat terhadap perubahan kondisi tuntutan lingkungannya, terus menerus melakukan inovasi, dan mengambil keputusan yang tepat untuk bergerak menuju yang diharapkannya. Semua itu terjadi karena kemampuan knowledge management dari perusahaan itu (Sangkala, 2007: 3) . Kedua, adanya perubahan orientasi dalam memandang sumberdaya perusahaan sebagai faktor produksi (Sangkala, 2007: 310). Dalam hal ini terutama perubahan yang akhirnya memandang manusia bukan lagi dari sisi fisik, malainkan sebagai kualitas fikiran, atau kualitas knowledge.
Seperti telah diketahui, Alfin Tofler (1980) telah membagi era ekonomi menjadi tiga gelombang, yaitu ekonomi pertanian (8000 Th SM – abad 18) yang disebut juga era manual, ekonomi industri (pertengahan abad 18 – abad 20) yang juga dikenal dengan era mesin industri, dan information economy atau ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy). Dalam perspektif tersebut, paradigma manausia sebagai sumberdaya (kapital) perusahaan berubah secara berturut-turut sebagai berikut: manusia sebagai otot (energi fisik), manusia sebagai keterampilan menggunakan mesin, dan manusia sebagai kualitas pikiran (knowledge content) (Jan Hidayat dan Donald Crestofel, 2006: 1-2). Daya tahan dan kemajuan diperoleh perusahaan justru ketika perusahaan melaksanakan aktivitasnya dengan meletakkan manusia sebagai knowledge content. Dari penelitian terakhir oleh John Kendrik (1998), memang diperoleh data pergeseran terhadap tingkat pentingnya knowledge sebagai modal tak tampak (intangible assets), yaitu 70% dibandingkan 30% persen untuk tangible assets. Kondisi ini berbalik dengan apa yang terjadi pada tahun 1929, dimana tangible assets justru pada posisi 70%
Kebutuhan PTAI Terhadap Knowledge Management
Seperti diungkapkan di atas, knowledge merupakan kunci untuk memenangkan persaingan. Tetapi, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah lebih dari itu, yaitu pengelolaan knowledge atau knowledge management. Knowledge management “adalah sistem pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima” (Nungky, 15). Dalam dunia pendidikan yang ternyata penuh persaingan, maka PTAI jelas memerlukan kemampuan KM.
Namun demikian, PTAI memerlukan KM bukan hanya dalam rangka persaingan dalam pengertian negatif, menentukan hidup mati lembaga, KM juga diperlukan oleh PTAI antara lain untuk hal-hal berikut: menjalankan transformasi, mempercepat pemekaran, dan membangun keunggulan.
PTAI Swasta mungkin benar-benar berhadapan dengan persaingan. Apalagi beberapa diantaranya berlokasi cukup berdekatan, dan dengan program studi yang relatif sama. PTAI Negeri dapat dikatakan tidak merasa khawatir dengan kompetisi itu, karena kelangsungan hidupnya sepertinya pasti dijamin oleh pemerintah. Namun demikian, selain dalam rangka kompetisi yang menyangkut kelangsungan hidup, lembaga pendidikan yang dinamis selalu memiliki keinginan untuk melakukan transformasi. Biasanya sebuah “Sekolah Tinggi” ingin berkembang menjadi “Institut” atau bahkan kemudian menjadi “Universitas”. Lembaga pendidikan yang progresif juga selalu menghendaki pemekaran, memperluas dan memperbanyak jurusan, program studi dan bahkan kampus. Kebutuhan akan adanya unggulan juga dimiliki oleh kebanyakan pendidikan yang serius. Keunggulan selain untuk memperkuat daya saing juga acapkali sebagai penguatatan identitas.
Semua itu membutuhkan dukungan management knowledge yang tangguh. Adakalanya keinginan untuk tetap eksis atau sedikit perkembangan dapat dipenuhi dengan hanya memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari kelemahan-kelemahan regulasi dan monev yang ada, atau berlindung pada sikap sosial non profesional dan ketidaktegasan (ke”baikhati”an atau “belaskasih”an) pemerintah semata. Namun langkah seperti itu selain tidak produktif, juga akan mudah tergoda dengan langkah-langkah tidak terpuji dan tidak standar. Langkah permanen yang perlu dilakukan ialah dengan mengadopsi atau mengadaptasi pengalaman dunia industri dan bisnis, yaitu dengan memperkuat knowledge management.
Belajar dari pengalaman dunia bisnis atau industri, beberapa langkah yang dapat dilakukan PTAI untuk memperkuat management knowledge adalah:
1. Membangun dan Mengembangkan Tradisi Belajar
Sekalipun PTAI merupakan lembaga pendidikan, tidak dengan sendirinya telah tumbuh didalamnya tradisi belajar, khususnya dalam pengelolaan lembaga. Realitasnya, tradisi belajar yang intensif justru telah ditumbuhkan dan dikembanhgkan lebih awal pada organisasi bisnis ataupun industri.
Langkah ini merupakan langkah adaptif menghadapi persaingan yang ketat dalam suasana perubahan yang cepat. Dengan itu diharapkan akan terjadi proses permanen dalam pertukaran (sharing) , kolaborasi serta pengembangan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan nilai-nilai dalam lembaga, yang menjadikan lembaga semakin dinamis, produktif, dan efektif. Wujud konkrit dari adanya tradisi belajar yang dikehendaki adalah eksisnya semangat kebersamaan dalam berbagi pengetahuan dalam arti yang seluas-luasnya. Probst, Raub, dan Romhardt dalam bukunya Managing Knowledge: Building Blocks for Success (2000) menyatakan bahwa unuk menciptakan kebersamaan dalam berbagi pengetahuan diperlukan tiga kondisi, yaitu: (1). Interaksi. Pengetahuan kolektif berada dalam hubungan antar individu, bukan di masing-masing individu, (2). Transparansi. Setiap keahlian terungkap dan tampak secara leluasa, (3). Integrasi. Setiap individu menjadi bagian dari upaya pemecahan masalah secara bersama. (Miranda S. Gultom, 2008: 18).
Untuk menciptakan kondisi seperti yang disyaratkan Probs dkk. tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Kenyataannya, dari pengalaman beberapa perusahaan, memerlukan langkah-langkah pasti yang berkesinambungan. Sulitnya usaha tersebut dapat dimengerti, karena unsur utama dari tradisi belajar dan tujuan yang diharapkan darinya adalah “perubahan”. Sesuatu yang lumrahnya mendapat resistensi dan membutuhkan proses. Membentuk tradisi belajar adalah “perubahan” dari pengabaian menjadi penekanan dan care pada pengetahuan. Berikutnya, tujuan dari adanya tradisi belajar itu ialah “perubahan” dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi. Yaitu “perubahan” dari penanganan yang “asal jadi” menjadi pemecahan masalah secara terukur dan terstandar berdasarkan pengetahuan yang berkualitas. Sikap mental seperti ini tidak dapat diciptakan dengan segera apalagi serta merta.
Bank Indonesia memerlukan waktu beberapa tahun untuk mewujudkan tradisi belajar didalam lembaganya. Gerakan yang dimulai tahun 2002 baru dirasakan hasilnya setidaknya sesudah tahun 2006. Itupun memerlukan banyak biaya dan menggunakan berbagai kiat. Salah satu yang dilakukan, seperti diungkap dalam buku Mencairkan Gunung Es, ialah dengan membentuk “Mitra Perubahan” yang tidak lain orang-orang terpilih, dengan kriteria tertentu, untuk menghidupkan kebersamaan dalam pengetahuan, pengalaman, skill, dan nilai. Bahkan dengan menciptakan tokoh asosiasi yang diberi nama Spektro, sebagai cermin ideal manusia pembelajar.
Posted in minicase about Knowledge Management
June 14th, 2009 Posted 8:54 pm
Pengelolaan KM dalam perusahaan
Terminologi tentang Knowledge Management (KM) pada dasarnya mempunyai arti sebuah proses untuk meng-optimalisasi kekayaan intelektual di suatu organisasi untuk kepentingan organisasi. Keberadaan KM di sebuah organisasi tidak secara langsung dapat terlihat hasilnya karena beberapa hal yang berkaitan dengan Kekayaan Intelektual (Intelektual capital) yang di dalamnya terdiri dari komponen utama yaitu : human capital , Social capital, dan Corporate capital. Ketiga komponen ini merupakan komponen inti dari enterprise knowledge. Ketika salah satu dari ketiga komponen tadi tidak dapat dipenuhi oleh sebuah organisasi maka bisa dibilang implementasi dari KM ini akan gagal.
Dalam kesempatan kali ini saya akan menjelaskan masing-masing dari ketiga komponen tersebut.
1. Human Capital (Kekayaan sumber daya manusia)
Kekayaan sumber daya manusia merupakan kekayaan yang paling besar dan paling berpengaruh terhadap pengembangan KM di sebuah organisasi. Masing-masing individu di sebuah organisasi mempunyai sumber daya yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengetahuan yang saat ini dimilikinya. Seringkali kondisi pengelolaan kemampuan intelektual dari setiap individu selalu dipegang dan hanya dikembangkan oleh 1 orang tertentu saja. Hal ini berakibat ketergantungan terhadap 1 orang ini akan sangat tinggi dan ketika sudah saatnya dia menyatakan keluar (resign) perusahaan akan kelabakan karena sangat tergantung pada kemampuan skill-nya.
2. Corporate Capital (Kekayaan milik korporasi)
Di dalamnya termasuk kekayaan intelektual (Intellectual Property) baik itu formal maupun informal seperti contohnya adalah : source code, paten, ide, merek dagang dan lain sebagainya, terutama yang berkaitan dengan sesuatu hal yang bisa menjadikan kekayaan ini sebagai sumber daya potensial untuk perusahaan agar bisa dikenal dan dianggap sebagai kekuatan utama di dunia luar.
3. Social Capital (Kekayaan sosial)
Bagian kerja dari sebuah perangkat komunikasi di sebuah perusahaan di dalamnya termasuk ketersediaan hubungan antar manusia menggunakan Virtual Network dan juga interaksi antar setiap komponen sosial yang ada di dalam perusahaan.
Menurut Alex Bennet, seorang pendiri US based research and Educational Center Mountain Quest Institue dan sekarang merupakan deputi CIO dan Chief knowledge Officer dari US Department of Navy, ketiga komponen ini harus saling berkaitan dan secara pararel harus mendapatkan perhatian yang khusus jika ingin sebuah organisasi dibilang berhasil dalam pengelolaan KM. Menurut Alex ada 5 kategori tantangan yang harus dihadapi dalam pengelolaan KM diantaranya adalah :
1. Teknologi : berkaitan erat dengan beberapa hal yaitu memberdayakan, mem-fasilitasi dan menyebar luaskan inovasi keseluruh organisasi.
2. Isi (Content) : berkaitan dengan nilai, relevansi dan keadaan informasi yang terkini
3. Proses : berkaitan dengan pengelompokan, pengumpulan, penyelarasan (synchronize), menganalisa dan penyebaran informasi.
4. Budaya (culture) : berkaitan dengan komitmen, memberikan informasi ke orang lain (sharing) , saling bertukar (exchange) dan membangun hubungan (relationship).
5. Pembelajaran (Learning) : berkaitan dengan membangun kontekstual, membuat dan mengembangkan proses transfer ilmu.
Ada beberapa best practice yang dapat dilakukan untuk meng-implementasikan Knowledge Management di sebuah organisasi :
1. Identifikasi mana “Nilai” yang paling tinggi dari sebuah organisasi di sesuaikan dengan kebutuhan organisasi tersebut untuk dapat meningkatkan nilai perusahaan itu di dunia luar. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang IT Solutions harus selalu meningkatkan kemampuan mengelola portfolio apa yang sudah pernah mereka lakukan agar lebih dikenal di kalangan industri yang menggunakan jasa-nya. Dengan kemampuan mengelola portfolio di perusahaan berbasis IT Solutions dapat dipergunakan untuk kalangan internal agar dapat mencontoh success stories dari sebuah solusi yang pernah dikembangkan sebelumnya. Selain itu kegagalan-kegagalan yang terjadi dapat juga dijadikan sebagai senjata agar mereka tidak kembali mengulang kegagalan yang sudah pernah mereka dapat sebelumnya.
2. Penjelasan yang detail belum tentu penting. Sebuah penjelasan yang terlalu “dalam” dari sebuah hirarki di dalam akar pengetahuan di organisasi dapat membuat terlalu banyaknya pekerjaan yang tidak penting dilakukan oleh seorang pengelola KM di organisasi. Oleh karena itu harus dilakukan pengamatan terlebih dahulu antara pengembangan keluasan dan kedalaman pengetahuan disesuaikan need and demand dari sebuah organisasi.
3. Buka Forum untuk mencari pola. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk organisasi jika ingin menemukan pola yang tepat dari sebuah pendekatan yang sistematis untuk tukar menukar informasi jika hanya mengandalkan pengamatan belaka. Diperlukan sebuah perangkat tools yang sanggup untuk menjembatani proses tukar menukar informasi tadi, salah satu yang cukup mewakili adalah Blog dan Wiki. Kedua tools tadi dapat dijadikan sebagai ajang untuk mewakili suara dari setiap karyawan organisasi untuk membahas sebuah topik secara bertanggung jawab demi kepentingan perusahaan dengan mengurangi hambatan waktu dan tempat dalam pembahasan sebuah topik yang bersifat terbuka.
4. KM harus sejalan dengan penerapan bisnis. Sebuah proses pekerjaan di organisasi seharusnya mempunyai standar kerja yang dijadikan sebagai patokan kecepatan dan kualitas pekerjaan tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan bisnis yang cepat. Proses KM yang benar dapat mempercepat waktu tempuh dalam pembuatan proses bisnis secara keseluruhan, sehingga dapat dijadikan alat pengukuran bagaimana mengetahui KM dapat memberikan ROI (Return of Investment) terhadap organisasi penaung-nya. Itu adalah tantangan bagi para praktisi informasi untuk dapat mencari cara-cara yang paling tepat agar mereka dapat melakukan efesiensi pekerjaan dalam mencari informasi yang tepat dan cepat.
Posted in minicase about Knowledge Management
June 14th, 2009 Posted 7:40 pm
Mengembangkan Organisasi Knowledge Driven: Studi Kasus Buckman Laboratories
Buckman Laboratories’ KM
Kebutuhan Buckman di dalam mengembangkan KM berawal dari tingginya tingkat pertumbuhan pabrik dunia yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan bahan kimia, namun di sisi lain memiliki keterbatasan jumlah ahli/ expert kimia. Sebagai gambaran, BL memiliki 1400 pegawai, memiliki 23 perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, dengan pelanggan yang tersebar di 80 negara yang menggunakan 15 bahasa berbeda.
Kondisi yang tidak ideal ini dipandang oleh Buckman sebagai masalah serius. Buckman yang pada masa itu (1971) diangkat menjadi CEO melihat jika permasalahan ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan risiko tersendiri bagi perusahaan, yakni: (1) keluarnya expert dari organisasi akan menimbulkan kerugian perusahaan atas hilangnya ilmu yang dimiliki sang expert; dan (2) tingginya jam berpergian expert ke seluruh dunia akan menyebabkan berkurangnya waktu para expert di tengah-tengah keluarga.
Buckman memulai dengan upaya meng-install perangkat IT. Pada tahun 1983-an tidak ada barang yang murah di dalam dunia IT. Kemudian diadakan server yang khusus menyimpan data dan diharapkan pengetahuan tersebut dapat tersebar dan dapat ditransfer bagi yang membutuhkan. Ternyata inisiasi tersebut tidak membuahkan hasil karena terbatasnya akses (hanya dimiliki oleh kantor pusat), dan kelemahan lain adalah sifatnya tidak mobile dimana sebetulnya orang-orang yang bekerja di lapangan yang paling membutuhkannya.
Tahun 1986, Buckman membangun network, dimana masing-masing pegawai memiliki PC. Upaya ini tak juga membuahkan hasil karena adanya ketakutan pegawai akan penyalahgunaan informasi. Pengamanan yang berlapis enam akhirnya dijalankan sedemikian rupa oleh Buckman agar informasi dapat mengalir pada jajaran yang berada di level yang lebih rendah.
Tingginya tingkat mobilitas associate BL menuntut teknologi yang lebih canggih. Buckman kembali berinvestasi dengan menggunakan email. Kerepotan yang harus dihadapi BL adalah email hanya dapat digunakan di negara setempat, artinya email tidak bisa digunakan apabila user berpindah-pindah negara.
Belajar dari investasi yang mahal tersebut, Bukman mendapatkan karakteristik penting dari sistem sharing knowledge:
• mengurangi jumlah transmisi hingga menjadi satu saja sehingga ilmu tidak terdistorsi dan langsung dapat diterima
• memberikan akses knowledge kepada siapa saja
• membiarkan ilmu ditransfer dalam berbagai bahasa
• memastikan sistem bekerja dengan baik sehingga dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun juga
• menggunakan sistem yang mudah dipahami
Di tahun 1990-an inisiasi Buckman tidak lagi diiringi dengan pertumbuhan investasi di bidang IT, namun lebih kepada pengembangan Organizational Development (OD). Divisi khusus Knowledge Transfer (KT) mulai dibentuk guna merespon merespon kebutuhan pengetahuan global terkait dengan perencanaan dan pengelolaan sumber daya terhadap sebaran pengetahuan industri, teknikal dan pasar. KT berperan dalam memastikan dimudahkannya akses dan sharing terhadap best practice diantara Buckman Associates.
Berangkat dari keberhasilan divisi KT maka Buckman kemudian membentuk ”Learning Center”, atau semacam universitas yang dibentuk di dalam korporasi. Transfer pengetahuan yang diformalkan ini menjadikan proses transfer pengetahuan lebih terstruktur dan sistematis, dan bagi Buckman memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan inisiasi Buckman sebelumnya. Sebagai gambaran, Buckman dapat menekan “learning cost” dari US $ 1000/ jam yang terjadi pada kuartal 1 tahun 1998 menjadi US $2/ jam pada tahun 2000. Dan efek dari knowledge sharing yang digalakkan Buckman adalah meningkatnya proporsi produk baru terhadap total sales, yakni dari 13% per tahun 1997 menjadi 34% pada tahun 2000.Seiring dengan berjalannya waktu, Bukman menyadari bahwa memupuk kepercayaan diantara jajaran merupakan hal yang paling mendasar agar budaya knowledge sharing melembaga di dalam organisasi. Bagi Buckman, instalasi IT merupakan sesuatu hal yang paling mudah dilakukan namun tidak memberikan nilai tambah bagi peningkatan knowledge sharing.
kesimpulan
Dari kasus di atas kita mendapatkan tiga pelajaran dari implementasi KM oleh Bukman, yakni: pertama, Buckman pada awalnya telah berinvestasi secara besar-besaran di bidang teknologi IT, namun ternyata hal tersebut tidak efektif di dalam menciptakan organisasi berbasis KM; kedua, komitmen dan upaya Buckman di dalam menanamkan kepercayaan diantara jajarannya secara berkesinambungan dan tidak kenal lelah, disadari atau tidak, sebenarnya merupakan fondasi KM; ketiga, inisiasi Buckman di bidang OD memuluskan upaya menginstitusikan budaya KM melalui divisi-divisi khusus serta IT sebagai “enabler”-nya.
Sehingga sangatlah tepat apabila di tahun-tahun perkembangan organisasi BL telah menjadi organisasi terdepan yang diakui dunia sebagai “Most Admired Knowledge Enterprise”. Organisasi yang digerakkan pengetahuan (knowledge driven) dimana organisasi ini menjadi oase bagi jajaran untuk berbagi pengetahuan!
Posted in minicase about Knowledge Management
June 14th, 2009 Posted 7:34 pm
Knowledge Sharing ala PT Pembangkit Jawa Barat
Bagaimana PJB mengelola SDM hingga, mutasi, promosi atau saat ditinggal tenaga ahli pensiun, tidak kehilangan pengetahuan-pengetahuan teknis itu?
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa PJB adalah anak perusahaan PT PLN (Persero) yang memproduksi pasokan listrik yang peranannya dalam kehidupan sehari-hari sangat vital. Sebagai perusahaan pembangkit listrik yang besar dan punya unit pembangkit yang terpisah-pisah karyawan PJB memang dituntut teliti dalam melakukan kegiatan produksi. Tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapapun.
Kemampuan mengatasi kesalahan yang pernah terjadi harus jadi pengetahuan berharga. Tujuannya jelas, agar kesalahan tidak terulang lagi. Kita tahu bagaimana mencegahnya.
Kesadaran itulah yang mendorong PJB menerapkan knowledge management (KM). Kami tidak ingin pengetahuan dan kompetensi yang sangat berharga lepas dari perusahaan seiring dengan mutasi (perpindahan) atau habisnya masa tugas para tenaga ahli (expert) di perusahaan. Management tidak ingin fenomena knowledge drainage itu terus berlangsung. Kami harus melindungi pengetahuan itu.
Pengetahuan dianggap jadi aset?
Betul. Pengetahuan karyawan merupakan aset berharga bagi perusahaan. Pengelolaan asset pengetahuan tersebut dikelola dan didokumentasikan dalam dokumen perusahaan yang dihimpun dalam portal Knowledge Management PT PJB. Pengetahuan itu yang menunjang keunggulan organisasi.
Bagaimana knowledge management bisa mencegah knowledge drainage itu?
Pada masa awal dimulai penerapannya adalah dengan membangun budaya sharing knowledge melalui “Media Klub Pustaka” . Selanjutnya mulai dikembangkan di seluruh unit. Tujuannya mengubah paradigma knowledge is a power yang lebih menekankan pada individualistik, menjadi knowledge sharing is a power yang berorientasi pada kolaborasi.
Kegiatan lain, setiap karyawan yang dikirim perusahaan untuk mengikuti pelatihan, sekembalinya di kantor harus men-share ilmu yang telah di dapat kepada rekannya di kantor atau seorang karyawan yang telah membaca buku (ilmu) baru dapat men-share ilmunya kepada rekannya yang lain.
Lantas apa nilai hakiki dari knowledge management?
Sharing knowledge atau tersebarnya pengetahuan di seluruh organisasi yang dikelola secara optimal adalah nilai hakiki dari knowledge management. Management PJB yakin, untuk bisa menjawab semua tantangan organisasi harus mampu mengelola intangible asset. Apa itu? Itu adalah competency dan knowledge organisasi menjadi sebuah corporate value.
Peran dari Subdit Knowledge Management adalah sebagai promotor dan fasilitator pembelajaran bagi seluruh karyawan di Kantor Pusat dan Unit-Unit PT PJB.
Pada tahap sekarang implementasi knowledge management seperti apa? Kegiatan berbagi pengetahuan tetap kami jalankan. Tapi bentuknya kini lebih fokus, misalnya, membangun CoP (community of practices) untuk men-generate problem solving di unit. Jadi pengetahuan yang dibagi bukan hanya teori tetapi juga praktik mengatasi masalah.
Untuk melengkapi, kami juga membangun portal KM untuk menampung hasil CoP dan sarana diskusi on-line, menampung database expert dan standar (SOP, manual kerja) di unit.
Portal itu telah disusun lebih user friendly sebagai data base knowledge organisasi dan juga sebagai sarana knowledge sharing.
Kami juga meng-capture competency expert melalui buku expert . Selanjutnya best practices dari masing-masing unit ini kita sharing ke dalam kegiatan PGD (Peer Group Discussion) yang dikelola KM korporat dan diikuti oleh seluruh unit PJB yang diadakan secara berkala setiap 3 bulan sekali.
Dari segi teori penerapan knowledge management sangat mudah. Praktiknya pasti tidak sederhana? Itu pasti, menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan jelas tidak mudah. Tetapi PJB ini termasuk sangat beruntung karena penemuan baru dalam bidang teknologi pembangkitan relatif tidak terlalu cepat dibanding perkembangan teknologi di bidang IT. Sehingga fokus KM PJB adalah “belajar dari kegagalan masa lalu” dan menemukan “best practices” di internal proses bisnis PJB.
Bagaimana membuat program knowledge management bisa diterima semua pihak?
Seperti kita tahu tidak mudah merubah budaya organisasi. Namun dengan membangun perubahan pada kelompok kecil (CoP) dan kemudian semua orang melihat manfaatnya, sehingga lebih mudah mentransfer-nya kepada kelompok yang lebih besar (seluruh organisasi).
Sosialisasi program kegiatan KM melalui madding dan majalah internal INFO PJB juga turut berperan dalam membuat program knowledge management bisa diterima semua pihak
Bagaimana memacu agar semua tingkatan bisa memahami arti penting knowledge management?
Untuk memacu itu, PJB melalui pendekatan sistem, yaitu dengan ditetapkannya Key Performance Indicator (KPI) 2008 yang salah satunya adalah mewajibkan kepada seluruh unit untuk mengimplementasikan knowledge management di unit mereka maing-masinh, di antaranya mengadakan, mengembangkan memanfaatkan perpustakaan, mengadakan kegiatan sharing pengetahuan, karya inovasi dll.
Selain itu, setelah dua kali menjadi nominator dalam MAKE AWARD, tahun 2009 ini kami bertekad agar dapat masuk best 10.
Yang lain, pemberian reward tertentu kepada pegawai yang menjadi juara dalam lomba karya inovasi, baik di tingkat regional/internal PJB, maupun dalam lomba tingkat nasional PLN.
Manfaat apa saja yang sudah dirasakan manajemen dengan penerapan KM ?
Alhamdulillah banyak sekali manfaatnya. Dari KM, contohnya, perusahaan mampu mendokumentasikan pengetahuan, pengalaman yang didapatkan dari pekerjaan mereka sehari-hari sehingga dapat dilakukan transfer knowledge, mengingat bahwa ilmu pembangkitan masih sangat langka di Indonesia.
Bayangkan jika kami tidak bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang sudah ada, tentu proses produksi tidak efisien. Tiap ada masalah kami harus mulai dari nol. Selain dari segi keuangan akan mahal, hal itu juga berakibat sangat fatal.
Nah dengan menerapkan Knoledge Management, khususnya dari karya-karya inovasi maupun practice sharing, dihasilkan Standard Operation Procedures baru, serta memperbaiki SOP lama yang perlu dikembangkan. Tentunya hal ini memberikan nilai tambah bagi manajemen dalam pengelolaan bisnis.
Demikian juga sebagai salah satu upaya dari internalisasi budaya pembelajar. Membangun suatu mekanisme penyebaran informasi dan pengalaman dari SDM yang ada, membantu terbentuknya learning organization. Yang jelas, belajar bukan lagi menjadi hal yang memberatkan bagi setiap insan di PJB. Kesiapan individu untuk belajar adalah modal penting bagi mereka untuk belajar secara berkesinambungan dan melakukan inovasi.
Dalam kondisi bisnis yang normal, kami yakin tetap mempunyai competitive advantage. Dan dalam situasi eksternal bisnis yang sekarang pun, improvement dan inovasi cara operasi yang selalu di update diyakini akan membantu kami menghadapi tuntutan perkembangan teknologi yang diperlukan.
Posted in minicase about Knowledge Management
June 14th, 2009 Posted 7:34 pm
Pembuatan Prototipe Knowledge Management System sebagai pendukung proses pengolahan informasi standardisasi perdagangan studi kasus BSN
Perkembangan tkenologi baik di bidang komunikasi maupun transportasi telah menyatukan kegiatan ekonomi dunia. Akibatnya, persaingan perdaganganpun menjadi persaingan global. Apa yang telah mereka capai dalam bisnis pada masa sebelum ini, belum tentu mampu membuat mereka bertahan dimasa mendatang. Perusahaan /organisasi yang bisa bertahan adalah mereka yang sanggup memberi kualitas, nilai, pelayanan, inovasi dan kecepatan bagi konsumennya. Untuk itu, perusahaan/ organisasi tidak lagi hanya bergantung pada modal finansial, ttp juga pada knowledge (pengetahuan) sebagai faktor pendukung utama. Berdasarkan kondisi tersebut, banyak organisasi semakin menyadari pentingnya mengelola dan memanfaatkan sebaik-baiknya engetahuan yang mereka miliki, agar dapat menjadi competitive advantage bagi perusahaannya. Untuk itu penerapan Knowledge Management (KM) menjadi suatu kebutuhan bagi suatu organisasi. Hal ini tidak terbatas pada perusahaan bisnis semata ttp juga oleh organisasi nir laba seperti badan pemerintah. Terutama badan pemerintah yang berfungsi mendukung perdagangan dunia. Organisasi ini memerlukan KM untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) mereka, agar mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pemerintah dan masyarakat. Tesis ini memfokuskan pada analisis, perancangaan dan pembuatan prototipe Knowledge Management System untuk mendukung kegiatan pengolahan informasi standardisasi perdagangan. Tesis yang menggunakan kerangka kerja dari Amrit Tiwana ini mengambil sstudi kasus Badan Standardisasi Nasional (BSN). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan KMS selanjutnya sehingga dapat memberikan dukungan yang berarti bagi kegiatan standardisasi BSN.
Posted in minicase about Knowledge Management